13.500 Nyawa Anak dan Bayi ditelan Penyakit Jantung Bawaan

Jum'at, 26 Februari 2016 - 04:25 WIB
13.500 Nyawa Anak dan...
13.500 Nyawa Anak dan Bayi ditelan Penyakit Jantung Bawaan
A A A
JAKARTA - Apakah Penyakit Jantung Bawaan, Penyakit yang "di-Anaktirikan"?

Membaca berita bahwa Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok, Red) menyulap Monas, Patung Selamat Datang dan Bundaran HI menjadi bercahaya emas untuk memperingati Hari Kanker Anak se-Dunia, kita semua tentu senang dan mengapresiasi dukungan pemerintah tersebut.

Pada saat yang bersamaan, ternyata bulan Februari ini juga sebenarnya bulan awareness untuk Congenital Heart Defect (Penyakit Jantung Bawaan). Tetapi sunyi sepi dan sejak dulu hampir tidak ada gaung/minim dukungan untuk Penyakit Jantung Bawaan.

Seperti dalam keterangan resmi dari Yayasan Hipertensi Paru yang diterima Sindonews. Perhatian dan dukungan untuk kanker selama ini dari berbagai pihak sangat luar biasa, bahkan hingga obat2an untuk kanker yang ratusan juta bisa masuk JKN, itu semua bagus, tetapi kenapa penyakit lain harus menjadi "anak tiri"?

PJB (Penyakit Jantung Bawaan) biasa dikenal masyarakat sebagai jantung bocor/kelainan jantung pada anak. PJB juga bersifat fatal dan menelan korban nyawa anak-anak jauh lebih banyak daripada kasus kanker anak yang sekitar 4100 kasus/tahun.

Menurut situs PJT RSCM, prevalensi PJB adalah 8-10 kasus per 1000 kelahiran. Dengan angka kelahiran di Indonesia berkisar 4,5 juta/tahun, maka diperkirakan ada 45.000 bayi PJB lahir setiap tahunnya!

Sebagian dari bayi-bayi tersebut meninggal di tahun pertama karena kelainan yang berat maupun tidak sempat terdiagnosa karena minimnya alat diagnosa (echocardiografi/usg jantung) dan Dokter Jantung, serta karena kebijakan Pemerintah yang tidak mendukung diagnosa dini dengan test echocardiografi pada bayi dan anak-anak.

Sekitar 1/3 atau 15.000 kasus harus dioperasi, dan inipun karena keterbatasan Dokter Bedah Jantung dan fasilitas bedah, sehingga setiap tahunnya hanya sekitar 1500 yang bisa dioperasi.

Bisa dibayangkan berapa defisit jumlah anak-anak yang "dibiarkan" meninggal begitu saja/tahun dan semakin lama semakin menumpuk jumlahnya? Mereka hanya bisa pasrah!

Ya mereka memang tidak meninggal segera, tetapi mereka harus menderita terlebih dahulu dengan gejala sesak nafas dll, dan sebagian besar meninggal di usia muda dan produktif. Hal ini seharusnya justru memberikan beban biaya pengobatan jangka panjang, produktifitas dan masalah sosial lebih tinggi bagi pemerintah dibandingkan bila ditangani sejak dini.

Bila faktanya seperti itu, lalu mengapa PJB tetap "kurang diperhatikan", apa karena pasien PJB meninggal perlahan jadi kurang dramastis kasusnya?

Lebih ironinya lagi, solusinya sebenarnya mudah sekali, hanya dengan 1 kebijakan screening echo (usg jantung) untuk bayi yang juga sudah dilakukan di negara-negara lain. Bahkan di Jepang dari janin hingga remaja wajib echo hingga 12x (kita bukan Jepang memang, bisa 1-2x sudah bersyukur).

Mengapa screening echo/usg jantung? Karena banyak sekali kasus PJB yang tanpa gejala dan terlewatkan diagnosanya, bahkan yang ada gejalanya pun tetap sulit didiagnosa oleh dokter bila tanpa test echo dan gejala juga sering terlewatkan karena pengetahuan masyarakat yang kurang.

Selain itu, operasi pada kasus PJB ada periode emasnya. Bila terlambat diatasi, selain meninggal di tahun pertama, maka pada saat dewasa bisa menyebabkan tekanan darah di arteri paru tinggi, yang biasa disebut dengan Hipertensi Paru, kondisi fatal dan tidak lagi bisa dikoreksi/dioperasi.

Solusi yang tidak masuk akal? Bagaimana cara mengecho 4,5 juta anak/tahun? Alat dan dokter jantungnya kurang, biayanya berapa?

Mudah sekali sebenarnya, hanya dibutuhkan niat dan kemauan saja dari pemerintah. Harga sebuah alat echo/usg jantung yang lumayan bagus kurang lebih Rp 1 miliar, maka hanya dibutuhkan Rp 514 miliar untuk melengkapi seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia yang berjumlah 514 dengan peralatan echo (yang bisa multifungsi juga untuk usg kehamilan dan organ internal lainnya).

Dokter juga mudah, untuk echo bisa dilakukan pelatihan untuk dokter2 umum/tenaga medis lainnya, hal ini sudah jamak dilakukan di RS Harapan Kita. Biaya pokok echo sebenarnya juga murah, hanya memerlukan gel usg dan cetak hasil.

Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah dokter bedah jantung dan dokter jantung, solusi termudah adalah distribusi dokter yang ada sekarang dengan merata, sekarang para dokter tersebut terkonsentrasi di Jabodetabek.

Solusi jangka panjangnyapun mudah, cukup memberikan beasiswa ke 514 dokter + 34 dokter bedah jantung anak, maka dalam 4-5 tahun sudah ada dokter jantung di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, dan dokter bedah jantung anak di setiap ibukota provinsi.

Bagaimana dengan biaya operasi jantungnya yang mahal sekitar Rp 50-100 juta? Biaya tersebut sama bahkan lebih cost effective bila dibandingkan kasus kanker, gagal ginjal dst.

Untuk jangka panjang, biaya untuk mengobati pasien PJB yang tidak sempat dioperasi justru jauh lebih mahal, apalagi bila sudah menjadi Hipertensi Paru yang obatnya puluhan juta/bulan dan harus dikonsumsi seumur hidup.

Anak-anak yang dilahirkan dengan Penyakit Jantung Bawaan, mendapatkan penyakit ini sejak lahir, 100% bukan salah mereka, dimana seharusnya kasusnya lebih diutamakan daripada penyakit jantung koroner, dll yang merupakan akumulasi kesalahan gaya hidup dan pola makan, yang sekarang operasinya juga telah dicover oleh JKN.

Jadi bagaimana Bapak Presiden Jokowi dan Ibu Menkes Nila Moelok? Benarkah pasien PJB hanya "anak tiri" bagi dunia kesehatan dan pemerintah?

Maaf bila harus menggunakan banyak contoh perhitungan diatas, data ini diperlukan untuk mengetahui bahwa solusinya sebenarnya mudah dan ekonomis, hanya dengan 1 kebijakan screening echo dan modal awal kurang lebih Rp 650 miliar (termasuk beasiswa Dokter), ribuan anak akan terselamatkan nyawanya setiap tahun, biaya yang sangat tidak sebanding dengan nilai korupsi UPS di DKI Jakarta yang mencapai Rp 12,1 triliun.
(sbn)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1783 seconds (0.1#10.140)